Sabtu, 04 Agustus 2012

Danke

Bukber 2004 @Rice Bowl Pacific Place, Jumat, 3 Agustus 2012.









Photos by Rizkiero!


Melihat foto-foto buka puasa bersama kemarin membuat saya terpaksa flashback ke tahun 2004, sebuah chapter kehidupan yang berharga buat saya. Ada apa dengan 2004? di pertengahan tahun itu, sekitar bulan juni/juli saya mendaftar kuliah program d3 jurusan bahasa Jerman di Universitas Indonesia. Masuk ke jurusan yang saya buta sama sekali tentang ilmunya tentu adalah sebuah gambling, lagipula jujur saja awalnya niat saya adalah mententramkan hati orang tua yang saat itu gundah ketika tahu saya dropout dari kampus sebelumnya. Tapi ini adalah gambling yang hasilnya tidak saya sesali. Bukan karena prestasi yang saya raih disana, tapi karena di kampus itulah saya dipertemukan oleh dunia baru, pengetahuan baru dan kawan-kawan baru yang benar-benar berbeda. Perbedaan yang positif dan membentuk karakter diri saya hingga hari ini.

Angkatan 2004, semoga kalian tahu betapa berhutang budinya saya sama kalian semua. Hutang paling besar saya adalah hutang pengalaman pertemanan yang sangat berharga. Pertemanan memang tak semulus wajah KW artis-artis Korea, walaupun juga tak seburuk wajah cacatnya hukum di negeri kita ini (woelahh), tapi itulah yang mengantarkan rindu ketika melihat lagi album-album foto dan sejumlah memorabilia yang tersisa. Beruntunglah kita dipertemukan oleh masa ketika sosial media dan gadget canggih belum menginfiltrasi nilai-nilai persahabatan. Dan beruntung juga kita masih dikaruniai nikmat CP dan PT, baik sebagai peserta hingga bertransformasi sebagai panitia di tahun berikutnya. Jangan lupakan juga mas Fe, Engge, dan bahan-bahan bully kita lainnya, yang walaupun "salah" tapi tanpa disadari itu adalah hidangan obrolan reguler yang mempersatukan kita...semoga Tuhan mengampuni dosa kita :). 

Sekarang saatnya membereskan lagi album-album itu, menutupnya dan menyimpannya di tempat yang rapih. Kembalilah pada masa kini yang sedang kita tapaki, karena terlalu banyak flashback tidak akan memajukan, dan nantinya flashback justru akan menjadi mudharat untuk kita semua. Ya, kita tutup dulu, kita buka sebulan lagi, sesuai rencana kemarin, dan semoga menjadi pertemuan yang lebih seru. amin

Vielen Dank. Aufwiedersehen
Nanda

Senin, 30 Juli 2012

The Dark Knight Rises (2012) : The Rise Of Nolanesque Style



Segala duka untuk korban pembantaian Colorado,segala kutuk untuk si freak James Holmes. Pasca tragedi berdarah itu media ramai menyebut Holmes sebagai The Joker, saya tidak setuju. Christopher Nolan bahkan mengungkapkan alasan kenapa ia tak berniat menggunakan jasa Joker lagi dan bahkan tak me"memention" lagi nama musuh bebuyutan Batman dalam sekuel TDKR ini, yaitu semua untuk menghormati mendiang Ledger. The Joker versi Ledger ibarat nomor punggung Franco Baresi, pemain legendaris Milan yang nomornya dikeramatkan, tidak tergantikan. Dan kini Homes lewat media diwarisi julukan itu, yah mungkin Ledger bukanlah nabi yang bisa disucikan oleh publik. Tapi tetap saya di pihak yang tak setuju.

Double combo tragedi nyata yang mewarnai 2 sekuel dari trilogi Batman era Nolan ini, seakan mengukuhkan pengaruh kegelapan film Nolan. Tewasnya Heath Ledger memang masih teka-teki, tapi banyak yang bilang ia menjadi benar-benar depresi dan hampir gila akibat terlalu menghayati peran Joker, yang memang dibuat  Nolan lebih gila dan lebih sadis. Holmes pun mungkin saja adalah fan boy pengidola si badut antagonis berambut hijau itu atau bisa juga dia adalah seorang psych oyang memanfaatkan momen TDKR untuk melampiaskan hasrat gilanya. Kalau benar semua karena Joker, berarti bisa dikatakan semua karena penciptantya, Christopher Nolan. 

Ah, mari lupakan Colorado, sambil mendoakan mereka yang menjadi korban Duka fanboy atau tepatnya Nolan's Batman Fans mungkin lebih tertuju pada Sang Ksatria Kegelapan itu sendiri. Segala macam premiere dan penyangan film TDKR di seluruh dunia itu sebenarnya adalah kesempatan terakhir kita menyaksikan Batman nya Nolan. The Dark Knight Rises adalah sekuel terakhir yang dijanjikan Nolan pada semua fans Batman di seluruh dunia. Bagi saya Batman versi Nolan adalah trilogi action hero re-boot tersukses, yang membuat dunia percaya bahwa Superhero komik bisa dibuat sangat kelam, depresif tapi juga lebih manusiawi mendekati nyata. Testimonial saya itu sebenarnya mengacu pada film-film lain besutan Nolan lainnya, sebut saja Memento (2000), Insomnia (2002) dan Inception (2010). 

Semenjak Batman Begins (2008), Nolan memaksa penonton di seluruh dunia percaya bahwa Bruce Wayne,  Batman dan Gotham City adalah sesuatu yang nyata dan "dewasa", bukan rekaan fiktif komik yang cheesy ala DC/Marvel. Formula kesuksesan Begins, membuat Nolan pede membesut lanjutannya yaitu megahit The Dark Knight (2008) yang menurut saya lebih terasa sebagai epic action movie ketimbang film superhero. Beberapa kritikus film bahkan memasukkan scene "bank robbery" Joker sebagai salah satu opening scene terbaik sepanjang masa...saya setuju. Kematian Ledger, selain meninggalkan duka juga menimbulkan spekulasi apakah Joker akan digantikan oleh aktor lain di sekuel berikutnya. Nolan menjawabnya dengan melegendakan Ledger's Joker dengan tidak mengikutsrtakannya lagi di sekuel penutup, the ultimate final, The Dark Knight Rises (2012). Tekanan emosional jelas dirasakan Tom Hardy yang memerankan Bane, bayang-bayang senyum lebar yang terkuak dari bibir robek Joker jelas menterror harihari Hardy ketika menghayati perannya sebagai villain Batman yang terkuat baik secara fisik maupun intelejensia ini. Nuansa "Inception Connection" kental sekali di film ini dengan kehadiran Hardy dan Joseph Gordon Levitt. Ditambah lagi kehadiran si cantik Anne Hathaway, pemeran Selina Kyle/Catwoman, seorang pencuri sekaligus heroine. Tentang filmnya? saya jelas tidak bisa bilang kalau TDKR lebih bagus dari The Dark Knight, walaupun hingga hari ini ratingnya di IMDB masih selisih 0,5 poin lebih tinggi ketimbang  TDK. Ada scene-scene yang bagus sekali, namun ada juga yang timpang dan menimbulkan pertanyaan (maaf saya tidak mau spoiler). Persetan imdb, tapi nyatanya dorongan emosional penonton lebih tinggi ketika menonton film ini dan mindset rata-rat mereka bahwa Batman nya Nolan sudah pasti bagus. Jaminan itu jugalah, cap Nolan di dunia perfilman dunia, cap yang mulai bisa disejajarkan dengan sutradara-sutradara berkarakter macam Scorsese dan Tarantino.

Lampu Batman telah dimatikan Nolan. Semoga selamanya, agar tidak melanjutkan kesalahan George Lucas ketika berusaha meng-extend trilogi Starwars. Atau kesalahan sutradara-sutradara lain ketika terlalu asyik menambah sekuel-sekuel film atas nama komersil. Selamat tinggal korban Colorado, tidur nyenyak Ledger, dan selamat menikmati masa pensiun (Christian) Bale Wayne.

Oh ya ini scene favorit saya di fim ini, US National Anthem yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik CJ Coyne


Poin film ini 8.5 dari 10.




Minggu, 29 Juli 2012

Kepo ... What fo??


Ini re-post dari blog terdahuluku... 
Indonesia, tepatnya Jakarta kembali menciptakan kata ajaib bernama Kepo. Trending Term yang terdengar ke-Jepang-jepangan ini berhasil mengkudeta kata “Penasaran” di setiap ruang gaul. Saya tidak begitu peduli siapa inventornya, Kepo bagi saya adalah istilah penanda zaman.
Era Informasi seperti apa yang pernah diramalkan Alvin Toffler  dalam karya tulis masterpiecenya  Third Wave telah mengalami pembengkakan makna. Bila yang disebutkan Toffler adalah informasi yang berbasis IT, maka penemu terminologaul (terminologi gaul) “Kepo” ini berhasil merangkum sebuah fenomena sosial ke dalam sebuah istilah. Ini adalah suatu masa dimana data/informasi  tentang seseorang menjadi berarti dan tekhnologi ataupun media  memanjakan jiwa-jiwa penasaran yang tergabung dalam paguyuban Kepo, ok itu fiktif dan lebay tapi dalam setiap ruang rumpi, ruang nongkrong bahkan ruang sendiri saat browsing internet kita telah dirasuki Kepo.vbs. Goal utama kepo-isme ini adalah rasa penasaran yang terjawab  baik akan sebuah rahasia yang sifatnya hanya Tuhan yang tahu, seperti: “duh nih orang marah gak ya sama gw…gw lihat timeline twitternya kayaknya dia kesel deh sama gw” ataupun hal yang sifatnya “make sure” seperti: “tuh kan bener dia yang kemaren nelpon gw”. Media dan tekhnologi tekhnologi yang berkembang menjadi surga para kepo-ers, sebuah bagian peradaban dan budaya yang harusnya digunakan untuk hal-hal yang lebih tepat guna. Anda salah bila masih saja menganggap minat baca bangsa ini rendah Baca status facebook, baca timeline twitter, baca tweet, baca blog terdefinisikan menjadi membaca pikiran. Manusia-manusia penasaran ini gemar membaca pikiran seseorang, membuat opini opini yang tak berpihak pada fakta untuk kemudian dijadikan gosip.
Oke-oke saya stop disini aja deh pembahasan ini agar virus kepo tidak menjamah kesucian kognitif saya.
Selamat Pagi.
*anthem kepo: Nirvana-where did you sleep last night.
grafis logo keppo diatas oleh saya.hehe.

Sabtu, 28 Juli 2012

There's no cinema like "Cinema Paradiso" (1988).




Theres no such place like cinema. Despite the increasingly advanced technology of home theater, cinema is still the best "home" for the feast for the eyes to see the movie. The italian movie Cinema Paradiso (1988) will be a timeless masterpiece to remind us of that. Directed by italiano director Giuseppe Tornatore, Paradiso gained many worldwide success, the most prestigious one is The Oscar for The Best Foreign Language Film (Italy)  in 1990. 

Sicily is ain't just about the origins of Don and Mafioso, within Paradiso Tornatore tried to prove that there are passion, (unfinished) romance and the wonderful friendship too in that island. Portrayal of true friendship well represented between Alfredo, played by frenchman Philippe Noiret and his much younger fella, Salvatore De Vita / Toto, starred by three actors: Salvatore Cascio (Child), Marco Leonardi (Teenager) and Jacques Perrin (Adult). The chemistry between two of them is built by the same passion, theater's projectionist. 



The story itself focused on Toto's life journey including his poor love story with Elena Mendola, played  by Agnese Nano. His dream to be projectionist becomes true after Alfredo teach him to operate projector. Then comes rich man Spaccaficco, played by Enzo Cannavale, the man who will bring a change to sicilian people, the man who built Cinema Paradiso. 

My first love to Cinema Paradiso was "The Love Theme", a very beautiful score by Ennio Morricone. The music blends perfectly with the story. 


In Indonesia, there is a movie that inspired much by Cinema Paradiso, it's "Janji Joni" (2005), a comedy drama directed by Joko Anwar (Pintu Terlarang, Kala). 

I rate the movie 8.9 out of 10. Bellisimo :')




Jumat, 27 Juli 2012

Menjadi Kalian Dalam Teks



"Lo sekarang kerja dimana nda?" pertanyaan repetitif itu mungkin tidak menghujam sesering "kapan nikah nda?" di usiaku saat ini. Serius atau cuma sekedar basa basi, tendensi pertanyaan seperti itu acap membuatku galau dan tidak jarang aku mengalihkan topik pembicaraan. Bukan soal statusku sebagai semi pengangguran, karena alhamdulillah masih dapat rezeki dari hasil pekerjaan freelance, tapi kegalauanku adalah karena muak akan pertanyaan itu sendiri. Apakah tidak ada preferensi basa basi lain yang lebih keren daripada dua pertanyaan itu? Apakah karir, status sosial, pekerjaan dan pernikahan menjadi sangat vital sekali untuk diketahui orang lain di jaman seperti ini? Pertanyaan yang membuahkan pertanyaan selalu membuatku resah. Bagaimana bila aku jawab..."di Batcave", "di Pentagon", atau jawaban sarkas " di (ke)Pala Lo!". Benar-benar pedulikah mereka akan masa lalu, masa kini dan masa depanku?. Tapi dengan semangat menjunjung komunikasi yang baik, selalu akan kujawab: "kerja di rumah, freelance aja". Karena itulah yang terjujur dan yang terfaktual. Setidaknya bila ada sepi order mendisain, pekerjaan rumah macam beres-beres kamar juga masih termasuk "kerja" kan?. 
Tapi hari ini tepatnya siang tadi aku mempunyai opsi jawaban yang mungkin akan kujadikan template ketika harus meladeni pertanyaan itu. Aku sekarang kerja disini. Iya disini, di blog ini, ruang maya tak berbayar tempat dimana aku bisa menulis apa saja kelak. Aku ingin mengawali petualanganku sebagai penulis yang lebih intens. Karena dengan jadi penulis aku bisa jadi apa dan siapa saja yang aku mau dengan gayaku sendiri, versiku sendiri. Aku bisa jadi kalian, berpikir seperti kalian dan mentransformasikan diri kalian dalam teks. 
Lewat berjam-jam kontemplasi, dengan matang dan mantap kuberi nama kedai opini ini: Hei Lur!, sebuah sapaan spontan pada sedulur/saudara atau siapapun yang membca blog ini. Juga sebuah tribute tak langsung pada lagu Hendrix, Hey Joe!. Ok Cut The Crap, here's my thoughts, my daily life reviews, my so-called job, my own opinion store: Hei Lur!

w i l l k o m m e n